Letak keadilan Allah terhadap : Dunia adalah syurga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang beriman

 

A

da seorang manusia yang sejak lahir tak pernah melihat sosok ayahnya, di kala bayi sudah ditinggal oleh Ibunya. Sungguh sepi hidupnya, hidup sebatang kara dan tak merasakan kasih sayang orangtuanya, seolah hidup tak adil, disaat anak-anak seusianya masih ditimang oleh ibunya, senang dipungguk diatas pundak besar ayahnya, namun tidak untuk si batang kara. Ia tumbuh di dalam asuhan seorang saudagar dan petinggi suatu kaum. Abdul Muthalib, dialah kakeknya. Disaat anak seumurannya tengah bermain bola pasir, balap-balapan dan menjelajah perkampungan, ia ajarkan sejak kecil anak itu bagaimana beternak, ia akrabkan anak itu dengan pasar. Hingga pamannya kemudian yang melanjutkan mengajarinya cara berdagang. Bermitra dengan seorang saudagar besar, seorang wanita yang sudah menjadi janda, hingga benih cinta yang suci hadir di hati sang janda, dengan santun mengutus pegawainya untuk menyampaikan perasaan dari lubuk hati. Hidup terlihat kembali menunjukkan keadilan, hidup tak selalu mengalami kesusahan, habis gelap terbitlah terang, sebagaimana ungkap Kartini pada bukunya. Cinta suci yang terjalin antara si batang kara dan si janda menciptakan energi kehidupan yang maha dahsyat. Skenario Ilahi sungguh istimewa, lahir anak-anak cerdas dan rupawan dari rahim si janda. Hidup terasa penuh suka cita sekalipun dirundung banyak cobaan pilu. Allah punya rencana lain, Allah amat menyayangi hamba-Nya satu ini, Dia pulangkan pamannya, juga si janda istrinya. Kehidupan kembali menunjukkan ketidakadilan. Belum selesai sampai pada dipulangkan orang-orang terdekat dari hati, tanah kelahirannya menolak dirinya beserta pengikutnya, terusir ia dan seluruh sahabatnya.

Memoar diatas adalah deskripsi singkat perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, berdasarkan penyampaian pribadi. Sebelum kita mengutuk ketidakadilan kehidupan atas segala yang kita alami, sebelum kita membandingkan kehidupan kita dengan milyaran manusia di bumi. Jauh sebelum kita hidup sekarang, hidup sudah menunjukkan ketidakadilan bagi banyak manusia pilihan Allah ‘azza wa jalla, tidak adil bagi kacamata dunia. Seolah ada yang usil dengan kehidupan kita, ada yang tidak senang bila kita bahagia walaupun hanya sedetik, ada yang tidak rela bila kita berlimpah harta meski sehari saja, ada yang tidak ingin kita bersikap sopan dan santun meskipun sudah sejak kecil ditanamkan. Seolah ada yang sengaja berkeinginan menjatuhkan kita, membuat kita terpuruk, rugi bandar, dan penuh dengan kemelaratan. Kita bertanya-tanya siapakah dia, sejenis makhluk seperti kita, atau lebih halus, siapakah.. apakah Tuhan itu sendiri yang menginginkan hal-hal buruk terjadi pada kita. Mengapa hidup ini terasa amat berat hari demi harinya, mengapa manusia-manusia congkak disana terlihat amat nikmat dan bersahaja. Dimana letak keadilan Tuhan terhadap hidup ini.

Dalam Ilmu Kalam, kita mempelajari filsafat kehidupan. Ini berkaitan dengan akidah, yakni perihal keyakinan. Pertanyaan yang kerap kali menjadi gandrungan adalah dimana Tuhan berada. Namun, pertanyaan besar yang lebih pantas untuk permasalahan keadilan Tuhan ini adalah, untuk apa Tuhan menciptakan manusia dan takdirnya ?

Mari kita lihat Q.S Ali Imran ayat 191 :

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Kita akan menarik kesimpulan dari kalimat مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا yang artinya, Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maka, tujuan penciptaan manusia beserta takdirnya, tidak menemukan kesia-siaan melainkan pasti ada pelajaran di dalamnya, begitu pula seluruh komponen yang terbentang di alam semesta, sekalipun hanya setitik debu.

Dahulu ada seorang manusia yang mempertanyakan keberadaan Tuhan, kisah ini terekam dalam Q.S al-An’am ayat 76-78, bermula dari يَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ sebagaimana dalam Surah Ali Imran sebelumnya, yang artinya, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Kita kenali sosok beliau, ialah Ibrahim ‘alayhissalam. Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masa kini, baik dari perkembangan pemikiran yang hadir ditengah-tengah kita, hingga menuju pada sekte-sekte yang menunjukkan prinsip kehidupan, dalil al-Qur’an dan Sunnah adalah syarat wajib yang harus selalu hadir dalam penarikan kesimpulan. Maka, dua role-mode yang saya angkat pada tulisan ini akan menjadi kesimpulan nantinya.

Tahun ini kita menghadapi banyak ujian dan cobaan yang amat berat, wabah pandemi skala global yang terjangkit hampir ke seluruh penjuru dunia, meskipun masih menjadi polemik penyebab munculnya virus Covid-19, apakah sebab tangan jahil manusia, atau memang sudah merupakan takdir yang digariskan oleh Allah swt jauh sebelum alam semesta diciptakan, sebagaimana yang dianut oleh paham Asy’ariyah. Saya mengambil jalan tengah, bahwa wabah yang terjadi selain karena sunnatullah, melainkan sebab manusia itu sendiri, sebagaimana dalam Q.S Ar-Ra’d ayat 11 :

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ....

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Allah tidak merubah keadaan satu kaum, dari keadaan yang baik kepada keadaan buruk yang tidak mereka sukai, hingga mereka sendiri yang merubah apa yang mereka dapati dari keadaan syukur (menjadi keadaan kufur). Bila Allah hendak membinasakan suatu kaum, maka tidak ada yang dapat mencegah kehendak-Nya (Tafsir Al Muyassar). Jelas adanya, bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan ini memiliki campur tangan antar qadar manusia dan qadar Allah. Tidak seperti aliran Jabbariyah yang berpendapat bahwa semua terjadi atas kehendak Allah, kita bermaksiat dan melakukan hal buruk adalah kehendak Allah.

            Sehingga kita dapat mematahkan pertanyaan-pertanyaan diatas mengenai apakah Tuhan menginginkan hal-hal buruk terjadi pada kita. Karena kehidupan ini memiliki hukum sebab-akibat, apabila kita berbuat demikian maka kemudian kita mendapatkan balasannya. Banyak kita lihat kejomplangan status selama pandemi, orang yang sudah susah payah mendapatkan pekerjaan harus diberhentikan dari perusahaan, di sisi lain ada yang memanfaatkan musibah wabah sebagai kepentingan pribadi dengan menggelapkan dana bansos. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Bila kita melihat keadilan menggunakan kacamata dunia, jelas ini tidak adil. Hak-hak masyarakat tidak terpenuhi, negara tidak mampu mengayomi rakyatnya untuk dapat berpenghasilan. Sedangkan pejabat-pejabat hilang pengawasan sehingga dibiarkan menyalahgunakan dana masyarakat. Maka pecahlah berbagai demonstrasi sepanjang pandemi. Ujian bertubi-tubi kita rasakan, membuat kita mempertanyakan dimana keberadaan Allah, sedang hanya orang-orang sabar yang mendapatkan jalan keluar dari Allah, sebagaimana dalam Q.S Yunus ayat 109 :

وَاتَّبِعْ مَا يُوحَىٰ إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّىٰ يَحْكُمَ اللَّهُ ۚ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.

Bila segala permasalahan kita kembalikan pada al-Qur’an dan Sunnah, melalui cara nabi Ibrahim ‘alayhissalam, yakni berpikir tentang penciptaan alam semesta, membuka hati kita terhadap fenomena yang terjadi, sekalipun terlihat banyak kesusahan yang dialami, sebagaimana kisah nabi Muhammad saw. itu merupakan bentuk kasih sayang Allah terhadap orang-orang beriman, cara Allah untuk meng-upgrade iman kita, dari aynul yaqin menjadi haqqul yaqin, melatih diri kita agar dapat melihat segala perkara tidak hanya dengan mata telanjang, melainkan dengan mata hati dimana hati tempat iman bersemayam. Seperti inilah definisi dunia bagi kita, penjara bagi orang-orang beriman. Hal-hal tidak enak kita dapatkan memiliki maksud dikemudian hari,

و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 216)

Sedang orang-orang kafir tidak melihat maksud tersebut, mereka mengejar kebahagiaan dunia maka Allah memberikan apa yang mereka inginkan, sebagaimana dalam QS. Hud ayat 15-16 :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”

Ini adalah pertimbangan yang adil antara orang mukmin dan orang kafir, Allah jadikan kehidupan dunia yang sementara sebagai penjara bagi orang beriman, dan sebaliknya akhirat yang kekal abadi sebagai penjara bagi orang kafir. Hanya orang-orang beriman yang memahami tujuan hidup di dunia, sedang orang-orang kafir karena kekafirannya tidak memahami tujuan hidupnya di dunia, sehingga mereka jadikan dunia sebagai tujuan yang utama. Sebagaimana terkandung dalam QS. Al-An’am ayat 32 : “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kalian memahaminya?”. Walaupun kita temui banyak orang yang mengaku Islam, tapi tidak menjalankan syari’at, sedang kehidupannya amat bersahaja, dibanding dengan kehidupan serba cukup orang yang taat beribadah, menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Maka demikian kita dapat melihat kasih sayang Allah dari perbedaan tingkat ujian-Nya, semakin tinggi keimanan seseorang, semakin kencang ujian yang ditimpakan. Hingga derajatnya diakhirat mencapai tingkat tertinggi. Ibarat seorang pelajar tingkat Doktoral, semakin tinggi pendidikannya semakin berat ujian akhir yang harus dilewati, sehingga ketika ia berhasil menyandang gelar, akan sangat tinggi nilainya dihadapan banyak orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH : AL WAHYU (ULUMUL QUR'AN)

MAKALAH : TEKNIK MENERJEMAH JUMLAH SYARTHIYYAH

MAKALAH : ISRAILLIYAT DALAM PENAFSIRAN