MAKALAH : TEKNIK MENERJEMAH JUMLAH SYARTHIYYAH
MAKALAH DASAR-DASAR PENERJEMAH AL-QUR’AN
TEKNIK MENERJEMAH JUMLAH SYARTHIYYAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Dasar-Dasar Penerjemah Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Abdul Kholiq, M.A.
Disusun oleh :
Lailatul Badriyah (191410094)
Talbiya Robbi Rodhia (191410104)
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Dasar-dasar Penerjemah al-Qur’an yang berjudul Jumlah Syarthiyyah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan terbaik dan mencerahkan ilmu pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Abdul Kholiq, MA selaku dosen mata kuliah Dasar-dasar Penerjemah al-Qur’an yang telah membimbing kami, juga kepada teman-teman yang selalu mendukung proses belajar di kelas. Menyadari pentingnya makalah ini kami persembahkan kepada pembaca semoga bermanfaat, serta dapat dijadikan perbandingan untuk penyusunan makalah yang akan datang.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam segi kata maupun penyusunan. Saran dan kritik yang membangun terhadap makalah ini sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Jakarta, 17 November 2020
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... 2
Daftar Isi ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................. 4
B. Rumusan masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan pembuatan ............................................................................. 4
BAB II ISI .................................................................................................... 5
A. Pengertian Jumlah Syarthiyyah.......................................................... 5
B. Pembagian dalam jumlah syarthiyyah .............................................. 6
C. Praktik Menerjemahkan Jumlah Syarthiyyah ................................... 18
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 19
A. Kesimpulan ....................................................................................... 19
B. Kritik dan Saran ................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
al-Qur’an memiliki ragam kalimat yang bermacam-macam, tersusun dari struktur kalimat yang sempurna, bila ditelaah maksud dari ayat-ayat di dalam al-Qur’an tidak cukup dengan mengetahui artinya, namun perlu mengerti pola kalimatnya, sebagaimana yang telah tercantum dalam ilmu nahwu tentang kaidah membaca. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam menerjemahkan, sama halnya seperti bahasa Indonesia, kita mengenal berbagai sebutan kalimat, masing-masing kalimat memiliki fungsi tertentu, tujuannya untuk menciptakan pemahaman yang pas dan bermakna.
Dalam makalah ini, mempelajari tentang pola kalimat beserta penerapannya di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kalimat dalam bahasa Indonesia adalah susunan kata, namun dalam bahasa Arab kalimat disebut sebagai jumlah, salah satu macamnya adalah jumlah syarthiyyah. Pola kalimat ini penting dipelajari dalam menerjemahkan al-Qur’an.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jumlah syarthiyyah ?
2. Apa saja macam jumlah syarthiyyah ?
3. Bagaimana contoh jumlah syarthiyyah di dalam al-Qur’an ?
4. Bagaimana cara menerjemahkan jumlah syarthiyyah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jumlah syarthiyyah
2. Untuk mengetahui macam-macam jumlah syarthiyyah
3. Untuk mengetahui jumlah syarthiyyah di dalam ayat al-Qur’an
4. Agar dapat menerjemahkan jumlah syarthiyyah di dalam al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jumlah Syarthiyyah
Dalam bahasa Arab, kalimat syarat ditandai dengan adanya adat Syarṭ, sedangkan dalam bahasa indonesia ditandai dengan adanya konjungsi yang menyatakan syarat. adat Syarṭ yang ada dalam bahasa Arab sangat beragam dan memiliki fungsi-fungsi tersendiri. Walaupun beberapa adat Syarṭ mempunyai arti yang hampir sama dalam bahasa Indonesia, tetapi memiliki fungsi sintaksis yang berbeda dalam bahasa Arab. Sehingga terkadang pelajar keliru dalam membuat atau menerjemahkan bentuk kalimat syarat. Dalam kalimat syarat pada Bahasa Arab, setiap adat Syarṭ akan mempengaruhi bentuk dan makna kata yang digunakan. Seperti penggunaan ḥarf ‘إن ‘dalam sebuah kalimat, akan menjazmkan dua fi’il, sedangkan penggunaan ḥarf ‘لو ‘pada sebuah kalimat tidak akan menjazmkan dua fi’il. Adapun dalam bahasa Indonesia konjungsi yang menyatakan syarat, bisa menggantikan peran satu sama lain. Chaer (2007) menjelaskan bahwa kalimat dengan konjungsi ‘kalau’ pada awal klausa bawahan, perannya dapat digantikan oleh konjungsi ‘jika’, konjungsi ‘jika’ dapat digantikan perannya oleh konjungsi ‘jikalau’, kemudian, konjungsi ‘bila’ juga dapat menggantikan peran ‘kalau’. Selanjutnya, Al Farisi (2014:23) mendefinisikan terjemah sebagai upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur semantik sepadan dan membangun mabna dan makna sesuai.
Kalimat syarat adalah pola kalimat bahasa Arab yang terdiri dari adat syarat (huruf dan isim penunjang kalimat syarat) yang menghubungkan dua kalimat setelahnya. kalimat pertama disebut dengan jumlah syarath (kalimat syarat) atau fi'il syarath (kata kerja syarath) dan kalimat kedua disebut dengan jawab syarath (jawab syarat/ kata kerja akibat). [1]
B. Pembagian dalam jumlah syarthiyyah
Berdasarkan fungsi adat syarṭ terbagi menjadi dua macam. Yaitu :
a. Adawat syart jazimah maksudnya jika adawat tersebut bertemu dengan fi’il setelahnya, maka fi’il tersebut akan menjadi jazm.
b. Adawat syart ghairu jazimah maksudnya tidak menjazmkan fi’il setelahnya.
Kemudian, adawat syart jazimah terbagi menjadi dua, yaitu ; (1) jazimah li fi’lin wahid (men-jazm-kan satu fi’il) dan, (2) jazimah li fi’lain (men-jazm-kan dua fi’il).
Sebelum membahas tentang jumlah syarthiyyah, terlebih dahulu dapat diketahui terkait amil jawazim, jawazim adalah jama’ dari kata jazim, artinya menjazmkan. Maka amil jawazim adalah kata yang menjazm’kan fi’il mudhari’. Ciri jazm ada dua macam yaitu sukun dan membuang huruf.
1. Sukun
Pada fi’il mudhari yang huruf akhirnya shahih. Contoh:
- لَمْ اَكُنْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
2. Membuang huruf
Pada fi’il mudhari yang diakhiri huruf nun atau huruf ilat. Contoh:
-لَمْ تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
-لَا تَخْشَ
Amil jawazim jumlahnya ada 18[2], yaitu :
لَمْ - لَمَّا – أَلَمْ – أَلَمَّا - ل الامر - لَا - إِنْ - مَا - مَنْ - مَهْمَا – إِذْ مَا - أَيُّ - مَتَى - أَيْنَ - أَيَّانَ - أّنَّى - حَيْثُمَا - كَيْفَمَا
Yang 18 dibagi dua. Ada yang menjazmkan satu fi’il dan ada yang menjazmkan dua fi’il. Amil yang menjazmkan satu fi’il adalah:
لَمْ - لَمَّا – أَلَمْ – أَلَمَّا - ل – لَا
Adapun penjelasan mengenai adawat syart sebagaimana berikut :
a. Adawat syart jazimah.
Berikut penjelasannya :[3]
1. (لَمْ) Tidak dan untuk menafikan sesuatu yang telah lalu dan bisa sampai zaman akan datang.
Contoh:
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ
Tidak beranak dan tidak diperanak.[4]
2. (لَمَّا) belum.
Digunakan untuk menafikan suatu keadaan dari dahulu sampai dikatakan pernyataan tersebut. Contoh:
بَلْ لَمَّا يَذُوْقُوا عَذَابِ
Tetapi mereka belum merasakan azab(-Ku).[5]
3. (اَلَمْ) bukankah.
Contoh:
اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
Bukankah kami telah melapangkan dadamu?[6]
4. (أَلَمَّا) belumkah atau apakah belum.
Contoh:
أَلَمَّا أُحْسِنْ إِلَيْكَ
Apakah aku belum berbuat baik kepadamu.
5. (ل) hendaknya.
Disandingkan fi’il mudhari dengan fa’il dhamir ghaib.
Contoh:
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Hendaknya (dia) berkata yang baik atau diam saja![7]
6. (لَا) jangan.
Disandingkan dengan fi’il mudhari dengan fa’il mukhathab.
Contoh:
لَا تُفْسِدُوْا فِي الْأَرْضِ
Jangalah berbuat kerusakan di bumi![8]
Dari nomor 7, amilnya bisa menjazmkan dua fi’il namun dengan syarat harus jumlah syarat dan jawabnya. Amil-amil dibawah ini bi[9]sa menjazmkan fi’il mudhari yang ada pada jumlah syarat dan juga fi’il mudhari pada jumlah jawab.
7. (إِنْ) jika.
Contoh:
وَإِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْ أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ
Jika kalian nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu.
8. (مَا) tidaklah. Contoh:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Tidaklah Kami membatalkan suatu ayat atau Kami Hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.[10]
وَمَا تَفعَلُواْ مِن خَير يَعلَمهُ ٱللَّهُۗ
Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.[11]
9. (مَنْ) barang siapa.
Contoh dengan fa’ :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya.
Contoh tanpa fa’ :
وَمَن يَفعَل
ذَٰلِكَ عُدوَٰنا وَظُلما فَسَوفَ نُصلِيهِ نَاراۚ
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zhalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka.[12]
10. (مَهْمَا) setiap kali.
وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهِ مِنْ آيَةٍ لِّتَسْحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِيْنَ
Dan mereka berkata (kepada Musa), “Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami untuk menyihir kami, kami tidak akan beriman kepadamu.”
11. (إِذْ مَا) jika.
Contoh:
إِذْمَا تَفْعَلْ شَرًا تَنْدَمْ
Jika kamu melakukan kesalahan, maka kamu akan menyesal.
12. (أَيُّ) mana saja.
Contoh:
أَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia Mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma-ul Husna).[13]
13. (مَتَى) ketika.
Contoh:
مَتَى يَحْضُرْ اَحْمَدُ يَحْضُرْ حَامِدٌ
ketika Ahmad datang, maka datanglah Hamid.
14. (أَيْنَ) dimana.
Contoh:
أَيْنَمَا تَكُوْنُوْ يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ
dimana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian[14].
15. (أَيَّانَ) jika, bila mana.
Contoh:
أَيَّانَ يَكْثُرْ فَرَاغُ الشَّبَابِ يَكْثُرْ فَسَادُهُمْ
apabila para pemuda banyak waktu nganggurnya, maka banyak pula kerusakkannya.
16. (أَنَّى) dimana saja.
Contoh:
أَنَّى يَنْزِلْ ذُو الْعِلْمِ يُكْرَمْ
dimana saja orang berilmu turun, maka ia akan dihormati.
Dalam al-Qur’an kebanyakan bukan isim syarat, melainkan istifham ta’ajjub
17. (حَيْثُمَا) dimana saja.
Contoh:
حَيْثُمَا تَجِدْ صِدِّيْقًا وَفِيًا تَجِدْ كَنْزًا ثَمِيْنًا
dimana saja kamu menemukan kejujuran, maka kamu dapati simpanan yang
berharga.
وَحَيثُ مَا كُنتُم فَوَلُّواْ وُجُوهَكُم شَطرَهُ
Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu.[15]
18. (كَيْفَمَا) bagaimana pun.
Contoh:
كَيْفَمَا تَكُوْنِيْ اُحْبِبْكِ
Bagaimana pun keadaanmu, aku mencintaimu.
Disimpulkan fi’il mudhari juga dijazmkan apabila berkedudukan jawab dari amar. Maksudnya jumlah syaratnya ada fi’il amarnya, maka apabila di jumlah jawab ada fi’il mudhari maka harus dijazmkan. Contoh:
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.[16]
Penjelasan jazimah li fi’lain (menjazmkan dua fi'il), pada surah Al-Baqarah : 23 adalah Jumlah syarṭiyah dengan adat syarṭ berjenis ḥarf.[17]
وَإِن كُنتُم فِی رَیب مِّمَّا نَزَّلنَا عَلَىٰ عَبدِنَا فَأتُوا بِسُورَة مِّن مِّثلِهِۦ
Jumlah syarṭiyah di atas memiliki jumlah syarṭ كُنتُم فِی رَیب مِّمَّا نَزَّلنَا عَلَىٰ عَبدِنَا kata كُنتُم dalam keadaan jazm menjadi fi’il syarṭ dan jawab syarṭ فَأتُوا بِسُورَة مِّن مِّثلِهِۦ yang disertai huruf fa (َف) karena jawab syarṭ berupa jumlah ṭalbiyah dengan bentuk fi’il amr.
Adapun terjemah dari jumlah syarṭiyah di atas Jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya. Kalimat Jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad), sebagai protasis di mana kalimat tersebut menyatakan keterangan syarat, hal ini ditandai dengan adanya konjungsi yang menyatakan syarat yaitu jika. Kemudian, kalimat maka buatlah satu surah semisal dengannya sebagai apodosis di mana kalimat tersebut menyatakan akibat dari kalimat syarat sebelumnya. Kemudian, kalimat protasis mempunyai peran sebagai anak kalimat (Aka).[18]
Kemudian pada surah Al-Baqarah ayat 108 terdapat jumlah syarṭiyah dengan adat syarṭ berjenis isim, yakni نَم. Isim نَم digunakan untuk yang berakal, dalam keadaan rafa’ mempunyai fungsi sebagai mubtada’, dalam keadaan nasb menjadi maf’ul bih apabila fi’il syarṭ muta’addi.
وَمَن یَتَبَدَّلِ ٱلكُفرَ بِٱلإِیمَـٰنِ فَقَد ضَلَّ سَوَاۤءَ ٱلسَّبِیلِ
Fi’il یَتَبَدَّلِ adalah fi’il muḍari’ majzum yang berperan sebagai fi’il syarṭ pada jumlah di atas. Kemudian jumlah قَد ضَلَّ سَوَاۤءَ ٱلسَّبِیلِ’sebagai jawab syarṭ disertai harf ‘َف’ karena jumlah jawab syarṭ diawali dengan Qod.
b. Tidak menjazmkan fi'il (غير جزم)[19]
ialah Adat yang memasuki dua kalimat. Kalimat pertama disebut fi'il syarath dan kalimat kedua disebut jawab syarath. Diantaranya adalah :
إذا - لو لا - لو ما - كلما - أما – لمّا
Di bawah ini, adalah jumlah syarṭiyah pada surah Al Baqarah berdasarkan jenis jawab syarṭ-nya. Pada surah Al-Baqarah ayat 11:
وَإِذَا قِيلَ لَهُم لَا تُفسِدُواْ فِي ٱلأَرضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحنُ مُصلِحُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”
قَالُواْ إِنَّمَا نَحنُ مُصلِحُونَ Jenis jawab syarṭ-nya adalah jumlah fi'liyah dengan fi’il māḍi tidak disertai ḥarf 'fa'. Hal ini senada dengan teori: Pada dasarnya, jawab syarṭ tidak disertai harf ‘الفاء .‘Namun, jawab syarṭ wajib disertai harf ‘الفاء (baik yang adat syarṭ nya jazim ataupun ghair jazim) jika jawab syarṭ:
1) Jawab syarṭ berupa jumlah ismiyyah (baik mabni ataupun manfi)
2) Jawab syarṭ berupa jumlah fi’liyah dengan fi’il jamid (yakni fi’il ghair mutasharif seperti (بئس dan, نعم ,عسي , ليس)
3) Jawab syarṭ berupa jumlah fi’liyah yang didahului لن ,ما ,قد ,السين ,سوف dan sebagainya.
Berikut penjelasan hurufnya[20] :
1. Huruf لو (lau) mempunyai makna “jika”, namun fungsi dari lau di sini adalah menafikan al-jawab dan untuk menafikan fi’lu asy-syart.
Contohnya adalah,
لو تزوجت لأنجبت زوجتك الأبناء
(jikalau kamu menikah, maka istrimu akan melahirkan anak-anak).
Contoh dalam surah An-Nisa : 9
وَليَخشَ ٱلَّذِينَ لَو تَرَكُواْ مِن خَلفِهِم ذُرِّيَّة ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيهِم
Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah setelah mereka, merasa khawatir atas mereka (generasi itu).
'Orang-orang harus merasa khawatir jika meninggalkan generasi yang lemah', ini adalah kalimat anjuran yang bersifat mustaqbal (masa mendatang) bukan masa yang sudah lewat (madhi'), sekalipun fi'il yang berada setelah huruf لو bentuknya adalah fi'il madhi, yakni تركوا. Tapi segi maknanya, ia bermakna mustaqbal.
Namun, terkadang fi'il yang berada setelah لو ini ada juga yang mustaqbal secara lafadz (bentuk) dan makna tapi tidak mempengaruhi i'rab fi'il mudhari' tersebut. Untuk jawabnya boleh memakai lam taukid seperti firman Allah dalam surah Al Anbiya : 22
لَو كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَا
Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan selain Allah, tentu keduanya akan hancur.
ataupun tidak memakai lam taukid, seperti dalam surah Al Waqi'ah : 70
لَو نَشَاءُ جَعَلنَٰهُ أُجَاجا فَلَولَا تَشكُرُونَ
Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur?
Adapun jika fi'il setelah huruf لو itu merupakan fi'il mudhari' yang nafyi, maka tidak boleh memakai lam taukid. Contoh :
لَوِ اجْتَهَدْتَ لَمْ تَنْدَمْ
2. Huruf لوما - لولا (laula dan lauma) bermakna “jikalau bukan atau jikalau tidak” berfungsi menafikan al-jawab agar terwujudnya fi’lu asy-syart. Contohnya adalah,
وَلَولَا رَهطُكَ لَرَجَمنَٰكَۖ
Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau,[21]
3. Huruf إذا (idza) bermakna “jika”, mempunyai fungsi untuk mensyaratkan waktu yang akan datang.
Contohnya,
وَإِذَا مَرِضتُ فَهُوَ يَشفِينِ
dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku,[22]
4. Huruf كلما (kullama) bermakna “setiap kali atau semakin”, berfungsi untuk mensyaratkan kata keja yang telah lampau.
Contohnya adalah,
كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُم مَّشَواْ فِيهِ وَإِذَا أَظلَمَ عَلَيهِم قَامُواْۚ
Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu,[23]
5. Huruf أما (amma) adalah adawat syart yang befungsi untuk mentafdhil (mengunggulkan satu diantara lainnya) yang menempati huruf dan fi'il syarat. Kalimat yang disebut setelah huruf أمّا merupakan jawab dari syarat tersebut yang diwakili oleh أمّا. Oleh karena itu, jawab dari أمّا mesti dimasuki 'fa jawab' untuk menjaga keterkaitan (الربط). Huruf أمّا ini memiliki dua fungsi, yakni fungsi merinci (tafshil) ataupun memperkuat (taukid). [24]
- Berfungsi tafshil, sebagaimana firman Allah dalam surat Adh Dhuha : 9-11
وَأَمَّا بِنِعمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنهَر فَأَمَّا ٱليَتِيمَ فَلَا تَقهَر
Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya). Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).
- Berfungsi taukid.
Contoh dalam kalimat,
أحب كل الدرس أما درس النحو أكثر.
(saya menyukai setiap pelajaran, namun pelajaran hanwu lah yang paling saya sukai.
6. Huruf لما
Huruf syarat ini diperuntukkan untuk menunjukkan keberadaan atau terjadinya sesuatu karena keberadaan terjadi sesuatu yang lain. Maka dari itulah huruf ini disebut :
حرف وجود لوجود
Huruf yang menunjukkan keberadaan sesuatu karena keberadaan suatu yang lain.
Huruf ini khusus masuk pada fi'il madhi dan menuntut adanya dua kalimat yang keberadaan kalimat terakhir dikarenakan keberadaan atau terjadinya kalimat yang pertama. Yang pertama disebut syarat (aksi) dan kalimat yang kedua disebut jawab (reaksi). Seperti terdapat dalam firman Allah surah Al-Ankabut : 65
فَلَمَّا نَجَّىٰهُم إِلَى ٱلبَرِّ إِذَا هُم يُشرِكُونَ
tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah),
Atau jumlah Ismiyah yang sudah dimasuki ف. Seperti firman-Nya dalam surat Luqman : 32
فَلَمَّا نَجَّىٰهُم إِلَى ٱلبَرِّ فَمِنهُم مُّقتَصِد
Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.
diantara ulama nahwu, ada yang menjadikan لمّا sebagai dhorof zaman yang semakna dengan حين yang diidhafatkan pada kalimat syarat. Pendapat ini terkenal di kalangan ulama i'rab.
C. Praktik Menerjemahkan Jumlah Syarthiyyah
Q.S At-Taubah : 50
اِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَاِنْ تُصِبْكَ مُصِيْبَةٌ يَّقُوْلُوْا قَدْ اَخَذْنَا اَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَّهُمْ فَرِحُوْنَ
1. Versi Kemenag
Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.
2. Versi Kudus
Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang: tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang).” Dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.
3. Versi Quraisy Shihab
Wahai Rasul, orang-orang munafik itu hanya menginginkan kesulitan bagimu dan sahabat-sahabatmu. Mereka akan merasa sakit hati apabila kalian mendapatkan keuntungan berupa kemenangan atau harta rampasan perang. Dan mereka akan merasa gembira apabila kalian tertimpa musibah berupa luka-luka atau kematian. Ketika itu, mereka berkata dengan mencela, “Keputusan kami untuk tidak ikut serta berjihad adalah suatu tindakan penyelamatan bagi diri kami.” Kemudian mereka pun berlalu dengan perasaan senang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jumlah syarthiyyah memiliki 3 komponen yang terbentuk, yaitu adawatus syarth (instrumen kalimat), fi’il syarth (kata kerja syarat), dan jawab syarath (kata kerja akibat). Kalimat syarat terbentuk dari amil jawazim dan ghairu jazimah, amil jawazim terbagi menjadi dua yakni jazimah li fi’lin wahid (men-jazm-kan satu fi’il) dan, jazimah li fi’lain (men-jazm-kan dua fi’il.
Amil jawazim terdiri dari 18 huruf, yang membentuk harf syart, tidak semua harf syart memiliki contoh ayat dalam al-Qur’an.
B. Kritik dan saran
Kami menyadari penyusunan makalah ini tidak sempurna, dikarenakan keterbatasan dalam memahami materi dan mencari referensi, namun kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini, segala masukan yang konstruktif sangat membantu kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Qistifani, Vini Qonita.Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019
Fatah Al Fatih, 2018. أدوات الشرط (Instrumen Kalimat Syarat) https://fatahillahabdurrahman.wordpress.com/2018/01/15/-instrumen-kalimat-syarat/
HaHuwa, 2020. Amil Jawazim (Arti dan Contohnya). https://hahuwa.blogspot.com/2018/01/amil-jawazim-arti-dan-contohnya.html
[1] Vini Qonita Qistifani, Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019. Halaman 43
[2] HaHuwa, 2020. Amil Jawazim (Arti dan Contohnya). https://hahuwa.blogspot.com/2018/01/amil-jawazim-arti-dan-contohnya.html (diakses pada tanggal 23 November 2020).
[3] HaHuwa, 2020. Amil Jawazim (Arti dan Contohnya). https://hahuwa.blogspot.com/2018/01/amil-jawazim-arti-dan-contohnya.html (diakses pada tanggal 23 November 2020).
[4] Surah Al Ikhlas, ayat 3
[5] Surah Shad, ayat 8
[6] Surah Al Insyirah, ayat 1
[7] HR. Muttafaqun ilaih
[8] Surah Al Baqarah, ayat 11
[10] Surah Al Baqarah : 106
[11] Surah Al Baqarah, ayat 197
[12] Surah An Nisa, Ayat 30
[13] Surah Al Isra, ayat 110
[14] Surah An-Nisa, ayat 78
[15] Surat Al-Baqarah, Ayat 144
[16] Surah Al Mujadalah, ayat 11
[17] Vini Qonita Qistifani, Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019. Halaman 50
[18] Vini Qonita Qistifani, Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019. Halaman 51
[19] Vini Qonita Qistifani, Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019. Halaman 50
[20] Fatah Al Fatih, 2018. أدوات الشرط (Instrumen Kalimat Syarat) https://fatahillahabdurrahman.wordpress.com/2018/01/15/-instrumen-kalimat-syarat/ (diakses pada 23 November 2020)
[21] Surat Asy-Syu'ara, Ayat 80
[22] Surat Asy-Syu'ara, Ayat 80
[23] Surat Al-Baqarah, Ayat 20
[24] Vini Qonita Qistifani, Analisis kontrastif kalimat syarat bahasa arab dan bahasa indonesia : ALSUNIYAT: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab. Vol. 2. Bandung : 2019. Halaman 47
Komentar
Posting Komentar